***
Attention!
(Cerita
ini fakta, tidak akan membuatmu tertawa terbaha-bahak, tapi cukup dengan
tersenyum J).
Weekend yang kurang
menyenangkan. Walau tidak pergi ke sekolah, tetapi tugas memaksaku untuk tetap stand
by di rumah. Hari ini aku bersekolah di rumah. Tanpa guru dan teman- teman.
Besok tugas harus dikumpul, hari ini harus terselesaikan.
Aku asyik menggeluti soal- soal matematika trigonometri. Setelah
menyelesaikan pekerjaan rumah, membantu ibu beres- beres, ku raih buku yang
isinya itu angka dan simbol- simbol yang membuat kerut di wajah sebelum
waktunya. Saat sedang seriusnya mengerjakan tugas, dua orang adikku, si Abang
dan si Adik datang mendekat dan duduk di sampingku. Mereka memang suka
mengganggu orang belajar. Diperhatikannya aku menuliskan rumus- rumus sin, cos,
tan dalam bukuku. Entah apa yang sedang mereka perhatikan, aku juga bingung
melihat mereka memperhatikanku. Si Adik ternyata sedang mengeja tulisan S-I-N “
SIN”, C-O-S “ COS” , T-A-N “ TAN”, T-G “
??”
Aku tersenyum mendengarnya mengeja huruf- huruf itu. Mulutnya
berhenti melafalkan dua huruf terakhir, karena dia tidak tahu menyambungnya. Si
Abang mengerti dengan huruf- huruf itu lantas berkata, “Kalau SIN itu sinus,
COS itu cosinus”.
“ Kalau TAN itu apa ?” tanyaku ingin mengetesnya.
“ TAN itu tangen. Kakak ini gak tau apa pura- pura gak tau sih.” Jawabnya.
Lalu,
si Adik ikut- ikutan bertanya, padahal ia tak tau apa itu sinus, cosinus, dan
tangen. Dia hanya ikut- ikutan.
“ Bang, bang... kalau T sama G itu dibaca apa?.” Tanya nya
penasaran.
“ T-G itu Tangen-Goblok!.” Jawabnya sambil tertawa.
“ Adek tau Tangen , abang aja itu yang goblok, Tangen aja gak tau.
Ini Tangen namanya .” katanya sambil menunjukkan kedua tangannya.
“ Itu bukan Tangen, tapi tangan. T- A- N – G- A- N!.” Seru si
Abang.
“ HAHAHAHAH “ Mereka pun tertawa bersama.
Aku hanya menggeleng- geleng kepala melihat mereka. Ku pikir mereka
asyik sendiri, datang membuyarkan konsentrasiku. Menciptakan lelucon yang sama
sekali garing.
“Sudah- sudah, pergi main sana. Buat rusuh saja. Hussst
hussss......” kataku kepada mereka.
“Lariiiiiiiii......... Miss. Einstein marah”, ledek mereka dan
berlari menjauh dariku.
Tidak dilihat mereka Ibu yang berjalan ke arah mereka dan Bruukk!
Si Adik menubruk tubuh ibu. Si Abang yang selamat hanya tertawa geli dan
meledeknya. Ibu membantu si Adik untuk bangkit.
“ Kenapa lari- lari? What happen?.” Tanya ibu.
“ Ada Tangen yang mau mengejar kami Bu.” Kata si Abang.
“ Tangen???? Tangen apa? ” Tanya ibu bingung dan melirik ke arahku.
“ Ini Tangen Ibu.” Jawab si Adik polos sambil menunjukkan tangan
ibunya.
Mereka
tertawa dan berlari menjauh dari aku dan ibu.
“What happen dengan mereka,
dear?”, tanya ibu kepadaku.
“I don’t know Mom”, jawabku
pura- pura tidak tahu.
Mmm.. 4 bulan terakhir ini, ibu memang kadang- kadang suka bicara
bahasa inggris denganku. Gaya- gayaan sok jadi “bule”. Ya, “bule rumahan”. Dulu
ibu mengaku, tak pandai Bahasa Inggris, nilai rapornya selalu dapat nilai 60.
Dulu dia sama sekali tak tertarik dengan pelajaran itu.
Tapi sekarang, Ibu tertarik belajar Bahasa Inggris, karena sering
mendengarkan aku berbicara bahasa inggris sendiri ketika makan, duduk- duduk
sendiri, belajar, menonton, bernyanyi, memasak, menyapu, dan setiap aktivitas
lainnya. Ibu sering menguping apa yang aku lafalkan. Karena seringnya
mendengarkan, lama- lama ibu tertarik untuk belajar. Wah. . . dengan senang
hati donk aku mengajarinya. Walau belajar bahasa inggris 4 bulan masih
membuatnya belepotan mengucapkan kata demi kata, kadang gak sesuai sih dengan
grammarnya. Its Okay, untuk semangatnya aku acungi jempol.
“ Oyea dear, ibu get
undangan nih? Can you temani ibu go to party?.” Tanyanya agak
terbata- bata.
Sesaat aku terdiam. Menemani ibu mengahadiri undangan? Perasaanku
tidak enak. Oh.. bisakah untuk hari ini, jangan ada yang menggangguku apalagi
mengajak aku pergi meninggalkan tugas- tugas ini. Lagi malas tau gak. Ucapku
dalam hati.
“Emmm... .”, jawabku dengan gaya sedang berpikir.
“Can you? Please dear, help you mom.....”, bujuk ibu
kepadaku. Ku pikir, semenjak ibu mulai bisa berbahasa inggris, kata- katanya
agak lebay... heheh.
Saat itu aku ingin sekali menolak ajakan ibu, karena tugas- tugas
sekolah yang belum terselesaikan, mengejar deadline karena esok hari
harus dikumpulkan. Bukan hanya itu, mood ku hari ini juga kurang baik,
malas untuk diajak bepergian. Aku hanya ingin menikmati weekend bersama Mr.
Trigo. Please... Don’t disturb us. Tetapi, dilain sisi aku juga tidak
ingin mengecewakan ibu, karena dengan siapa lagi beliau akan pergi kalau tidak
dengan ku? Pikirku. Ayah sedang tidak di rumah. Kalau ada ayah, mungkin ibu tak
mengajakku. Bagaimanapun memenuhi undangan itu wajib. Dan itu kewajiban ibu
menghadirinya, tanpa aku ibu tidak hadir. Tapi, mengerjakan tugas juga
kewajibanku sebagai siswi. Bingung pilih yang mana.
“ Dear.....”, tegur ibu sambil menyentuh bahuku.
Aku
tersentak. Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya. Itu artinya aku mau
menemaninya. Aih.... maafkan aku Mr. Trigo.
“Dear, we go party afternoon yes, ba’da ashar?” Tanya ibu.
“ Up to you Mom”. Jawabku seraya melempar senyuman
kepadanya.
“ Lho... why up to you? Biar gak hot kali, tapi
tempatnya lumayan jauh dear, jalanannya pun rusak dan berbatu.” Katanya.
Untuk kata- kata ini ibu tak terlalu mengerti bahasa inggrisnya.
“ lha.. are you sure Mom? Mmm... its okay Mom, we go
there after Ashar. But we go home before sunset yea.”
“ Yes.. yes...”, sahut ibu padahal tak begitu paham artinya.
Ibu meninggalkan aku dalam kegelisahanku, sungguh jika harus
memilih antara tetap tinggal di rumah Mr. Trigo atau pergi ke acara resepsi
yang dihidangkan berbagai jenis makanan. Ooh... bisakah tanpa harus datang
hidangan- hidangan itu hadir diantara tumpukan tugas- tugas ini?. Mustahil.
Maka aku lebih memilih tetap di rumah. Tapi, kata “ Up to you” sudah
mewakili pilihanku untuk menemani ibu menghadiri acara itu.
***
Pukul 15.00 WIB. Aku masih tertidur diantara buku- buku yang
berserakan mengelilingiku. Pikiranku lelah dengan soal-soal matematika yang
tiap halaman buku-bukunya tidak ada absen angka-angka dan simbol-simbol yang
membuat kriting otak, dan dahi berkerut. Asal tak cepat aja buat wajah
mengkriput. Mataku perlahan membuka, melihat sekeliling kamar mencari- cari
letak jam dinding. Sesaat aku lupa dimana letak jam dinding di kamarku. Kelopak
mata yang masih berat untuk dibuka, memaksaku untuk berhenti mencari dan
kembali mengatupkan mata. Tak teringat lagi olehku bahwa aku ada janji dengan
ibu.
***
“Adek dulu... adek dulu, abang pake itu aja, ini punya adek....”
“ Gak mau, itu kan baju abang. Kok adek pula yang pake? Nanti
kebesaran sama adek. Sini... adek pake baju yang itu aja. Baju itu cantik, ada
gambar Angry Bird nya.”
Sayup ..sayup ku dengar percekcokan mulut kedua bocah itu. Ku pikir
mereka sedang memperebutkan baju. Mereka memang hobinya suka mengganggu
ketentraman orang. Mengganggu aku belajar dan kali ini mereka telah mengganggu
tidurku. Hingga percekcokan masih berlanjut sampai salah satu diantara mereka
ada yang menangis. Tiba- tiba...
Prakk....! Diikuti suara bisik- bisik yang perlahan menghilang.
Seketika aku bangkit dari tidur dan ingin menghentikan segera
percekcokan itu. sumber suara ricuh itu berasal dari kamar ujung. Ku melangkah
pelan, karena aku ingin mengejutkan mereka tapi tak ku dapati seorang pun
berada di kamar itu. Ku perhatikan sekeliling kosong, hanya serpihan- serpihan
vas bunga yang pecah berserakan di lantai. Siapa yang melakukan ini, kalau bukan
mereka. Tapi dimana mereka?. Mataku memperhatikan setiap sudut- sudut ruangan
tidak ada tanda- tanda yang menunjukkan ada orang disini. Tapi aku yakin mereka
sedang mengerjai dan membuatku bangun. Satu tempat yang ku curigai adalah
kolong tempat tidur. Perlahan diam- diam ku intip kolong tempat tidur, kepalaku
sudah tenggelam ke dalam kolong tempat tidur. Tidak ada ku temukan mereka. Dan
tiba- tiba ...
Duarr ....... !
“ Cari siapa Miss ? .” Seru si Abang.
Aku terkaget. Kepalaku terantuk diantara susunan papan-papan tempat
tidur. Mereka tertawa melihatku. Ternyata mereka benar- benar mengerjaiku.
“ Hahaah.... akhirnya bangun juga. Makanya kalau dibangunkan itu
bangun. Kena kerjai deh.... wueekkk”, ledek si Abang sambil menjulurkan
lidahnya.
“ Huh. Kalian ya.... !” Hardikku karena kesal dan gereget. Aku
mengelus-elus kepalaku yang sakit, mereka berhasil membuatku bangun dan kesal.
Aku tertipu. Niatnya ingin mengejutkan mereka. Eh, malah sebaliknya.
“ Kak, Mom suruh kakak mandi. Cepet ya .... Mom udah
nunggu.” Kata si Adik yang ikut-ikutan panggil ibu dengan sebutan “ Mom”.
Aku teringat, ternyata aku ada janji dengan ibu untuk menemaninya
menghadiri undangan. Hahahah. Aku tertawa sendiri, ternyata mereka disuruh ibu
membangunkanku. Hanya mereka saja yang mencari- cari akal membangunkanku. Dasar
bocah cilik. Selalu punya cara ngeselin.
Secepat kilat aku bergegas, menuju kamar mandi dan bersiap. Tak
lupa aku shalat Ashar karena jam telah menunjukkan pukul 15.40 WIB.
***
“ How will we go Mom?” tanyaku.
“ What dear? What how how
?.” Sahut ibu bingung.
“Bagaimana kita akan pergi Bu?” Tanyaku mengulang pertanyaan
barusan.
“ Oh... itu toh artinya. Ibu sudah meminjam motor you grandmother,
karena ia tidak pergi ke ladang.” Jawab ibu.
“ What? Grandmother’s motor? “ Tanyaku kaget.
“ Yea,,, Why dear? “ Kata ibu.
“ Kalau pinjam dengan yang lain aja gak bisa ya Bu?” Kataku sengaja
tak berbahasa inggris, terlalu lama untuk mengulang- ulang menterjemahkannya
kepada ibu.
“Motor bibimu dibawa anaknya. No problem, its okay, kita
perginya dengan Motor nenekmu aja yes? “ Ibu meyakinkanku.
“Motor seperti itu layaknya digunakan untuk pergi ke ladang. Kita
kan mau pergi undangan “ Keluhku dengan suara rendah.
“ Don’t be like that dear.” Ibu hanya senyum- senyum
mendengar keluhanku.
Kenapa aku menolak pergi dengan motor nenek? Itu karena aku tahu
persis bentuk dan kerjanya. Motor tua merk
S- X yang bentuknya tak utuh seperti layaknya motor, body nya
yang tak semulus motor yang baru keluar dari showroom. Klakson nya tak
lagi berbunyi, lampunya tak lagi bercahaya. Dan jalannya tak lagi lancar. Mungkin
kalau dia adalah manusia, usianya sudah lansia. Tubuhnya ringkih. Masalahnya
BK- nya sudah lama mati dan kadaluwarsa. Kalau hanya bepergian keliling
kampung, dan ke ladang motor ini masih bisa diandalkan. Oh... betapa buruknya
motor ini, desirku dalam hati. Aku membayangkan kemungkinan- kemungkinan yang
akan terjadi kalau kami pergi dengan motor itu.
Bagaimana kalau motor itu mogok atau kehabisan bahan bakar di tengah
jalan diantara kebun- kebun tebu yang sunyi dan tidak ada orang berlalu lalang,
tidak ada bengkel dan penjual bensin. Apa yang akan terjadi dengan kami nanti?
Brrumm... brumm... brumm. Suara motor tua itu membuyarkan
lamunanku. Knalpotnya mengarah tepat ke arahku sehingga asapnya yang hitam dan mengepul itu membuatku sesak dan
terbatuk- batuk. Ah.. jadi juga aku membawa dia ikut bersama kami.
Dengan langkah gontai, ku amati motor itu. Ternyata bukan hanya
bentuknya yang buruk tetapi dia juga kotor dan penampilannya kusut dengan
bercak lumpur dimana-mana.
“Ah.. kalau bukan karena Ibu, aku tak ingin ikut menyertai ibuku,
motor butut!” celaku sambil mengibas tempat duduk.
Ku nyalakan kembali motor butut yang mati, mungkin motor ini
merajuk karena celaanku tadi. Ku tekan saklar “Starter” untuk menghidupkan
mesinnya, dan ternyata tidak berhasil, tidak ada tanda- tanda motor ini akan
hidup lagi. Dan ku coba untuk “meng-engkol” sekali coba tidak hidup. Kedua,
ketiga, hidup. Tapi dalam hitungan detik mati kembali. Untuk keempat kalinya
aku lelah, tenagaku habis. Ya, mungkin motor butut ini benar- benar marah dan
merajuk. Ah, apa peduliku. Kalau pun merajuk, itu bagus. Sehingga tak jadi aku
pergi.
Ibu melihatku telah berputus asa dengan wajah kusut hanya tertawa.
Beliau tahu bahwa aku jengkel dengan motor butut itu. Ibu mendekat ke arahku,
dan aku sedikit bergeser menjauhi motor butut itu. Ibu mencoba menghidupkan
motor butut itu, hanya sekali engkol motor butut itu pun mengeluarkan suara
cemprengnya. Brrummm..... brrummm....
“Motor same as human”, ibu menyindirku dan tersenyum melihat
wajahku yang cemberut.
“Manusia? Dimana letak telinganya sehingga dia bisa mendengar
celaan- celaanku, apakah dia juga punya perasaan dan otak? Sehingga dia mampu
membedakan sentuhan tanganku dengan sentuhan ibu. Ah, ku pikir ibu berlebihan.”
Bisikku dalam hati.
Aku
hanya tersenyum memaknai kata- kata ibu.
“ Let’s Mom, we are going now. Takut- takut motor butut ini
mati lagi”. Kataku.
“ Dear, Kamu ini ada- ada saja, motor ini akan mati kalau
kamu cemberut seperti itu” Sahut Ibu tertawa meledekku.
Aku pun tertawa. Untuk apa aku marah dan kesal dengan motor yang
tak bersalah. Toh, dia juga gak bisa melihat dan merasakan kekesalanku.
Faktanya motor butut ini hanyalah benda mati yang tak akan hidup seperti
manusia tanpa dikendalikan. Kejadian itu hanya kebetulan saja.
“ I don’t want to ride this motor Mom... I just sit in the back
ok!” Seruku sambil tersenyum.
“ Okay dear...” Sahut ibu.
Ibu telah stand by membawa motor ini menyertai kami. Mungkin
motor butut ini sedang berbahagia karena akan diajak jalan- jalan ke tempat
yang berbeda tak seperti biasanya. Kali ini tempat tujuannya bukanlah ladang
tapi tempat baru yang tidak dikenal. Walau tempat yang akan dituju nantinya
tidak jauh berbeda dengan jalan yang biasa dilaluinya ke ladang, jalan yang
berlubang dan berbatu. Tapi motor ini sudah sangat berpengalaman melintasi
jalanan seperti itu.
Aku sudah duduk tepat di belakang ibuku, memeluk erat pinggangnya.
Karena aku tahu ibu tak begitu pandai membawa motor. Takut- takut nanti aku
terjatuh. Dan ibu paling gak bisa, kalau orang yang diboncenginya bergerak-
gerak di belakang. Bisa- bisa jatuh ntar motor beserta pengendara dan
penumpangnya. Aku tak berani bergerak- gerak di belakang walau hanya untuk
memperbaiki posisi duduk yang bergeser akibat guncangan. Seperti apapun keadaan dudukku di belakang, aku
akan tetap pertahankan sampai motor ini berhenti.
Motor butut ini melaju dengan kecepatan sedang. Aku tahu seberapa
mampu motor ini melaju. Tidak lebih dari 60 km/jam. Sejauh kira- kira 500 meter
kami melaju, motor melaju tanpa hambatan. Ibu juga membawakannya dengan santai.
Namun, ketika hendak menyeberang dan berbelok di simpang 4. Ibu bingung,
melihat kondisi jalanan yang ramai, bagaimana kami memberi isyarat bahwa motor
ini akan berbelok, sementara lampu tangan kanan- kirinya tak menyala. Lama kami
menunggu, mencari kesempatan untuk berbelok. Tapi, sepertinya kendaraan- kendaraan
tidak akan habis. Ibu tidak berani mengambil tindakan untuk menerobos begitu
saja, karena dia takut. Tapi, kemudian ibu turun dari motor dan aku yang duduk
di belakang disuruhnya menggantikannya sesaat untuk menyebrangkan motor butut
ini. Tapi aku juga takut, jalan begitu ramai oleh kendaraan. Akhirnya, tau apa
yang ibu lakukan? Tangannya melambai- lambai memberi isyarat kepada pengendara
lain untuk berhenti. Dan berteriak- teriak “ Stop... stop ! we want lewat,
stop bentar.... stop.. stop !
Ibu layaknya seorang polwan yang sedang bertugas menertibkan lalu lintas. Hanya
saja tak ada polwan yang mengatur lalu lintas dengan berteriak- teriak. Aku
berhasil menyeberang dan membelokkan motor butut ini. Beberapa pengendara sempat
heran melihat kami. “Bule” nyasar dari negara manalah itu orang? Tapi kami tak
begitu mempedulikan.
Ku kembalikan kemudi motor kepada ibu. Kami kembali menelusuri
jalan, di sepanjang perjalanan aku tersenyum- senyum sendiri mengingat kejadian
tadi. Oh my god... my Mom... Ku pikir itu adalah cita- citanya
dahulu ingin menjadi seorang Polwan. Dan ternyata gagal.
Motor kembali melaju menyusuri jalanan aspal, semakin jauh motor melaju, jalanan aspal yang
mulus berubah menjadi jalan yang berlubang. Sesekali motor ini terpaksa melalui
lubang- lubang itu. Ibu membawakannya dengan sangat hati- hati. Tapi, ku
rasakan posisi dudukku sudah bergeser.
Sepanjang perjalanan ibu hanya diam. Membisu. Ibu bisa saja bawel
kalau di rumah, tapi menjadi diam kalau sedang mengemudi, ibu pantang diajak bercerita.
Bisa- bisa dia lupa jalan. Aku yang di belakangnya juga tak dapat berbuat apa-
apa. Diam. Sesekali ku rasakan kemudi motor tak stabil. Jalan berlubang membuat
ibu sulit untuk leluasa berkemudi. Tapi, untunglah kami tak jatuh. Tak terasa
kami hampir sampai tujuan. Jalan- jalan yang berlubang telah berubah menjadi
jalan berbatu. Kami ternyata memasuki area pedesaan. Seperti kebanyakan desa-
desa di kecamatan ini. Ternyata masih banyak yang jalannya masih berbatu.
Sehingga beberapa kali, kami hampir terjatuh. Sebenarnya posisi dudukku di
belakang sudah di ujung batas, hanya tinggal menunggu jatuhnya saja. Tapi tetap
ku pertahankan hanya beberapa meter lagi kami akan sampai. Ku lihat orang-
orang telah ramai berdatangan, para penjual mainan anak dan jajanan- jajanan
sudah bertengger sejak pagi. Anak- anak merengek- rengek untuk dibelikan
mainan, yang ini yang itu. Sementara para ibu hanya membujuk mereka dan
meyakinkan bahwa mereka akan membelikannya nanti, karena mereka tak membawa
uang. Tapi, tak banyak anak yang percaya. Mereka tetap saja merengek, bahkan
menangis sejadi-jadinya. Sampai didapat apa yang diinginkan.
Sesampai di lokasi, ibu menuju area parkiran sementara aku menunggunya
di pinggir jalan tempat bertenggernya para pedagang musiman ini. Ibu mencari-
cari tempat kosong untuk memparkirkan motor butut itu. Cukup lama aku berdiri
menunggu ibu hanya untuk memarkirkan motor itu.
“ I’m sorry dear.... ibu confuse memarkirkan motor
itu.” Kata ibu.
“ It’s Okay Mom... Let’s! ” Sahutku.
Terlihat tuan rumah telah stand
by berdiri menyalami tamu- tamu yang datang dan pulang silih berganti. Aku
dan ibu jalan beriringan menyalami tuan rumah yang kemudian dipersilahkan untuk
mencicipi hidangan.
Penjaga hidangan menyodorkan piringnya dan mempersilahkan kami
untuk makan hidangan yang telah disediakan. Tetapi, aku tak begitu bernafsu
dengan hidangan- hidangan yang ada. Bukan karena hidangan- hidangan itu tak aku
suka. Kalau boleh jujur, hidangan- hidangan itu tidak begitu mewah seperti di
hotel- hotel berbintang dan berbulan. Just rendang, gado- gado, sambal
tauco, dan sop. Tapi untuk orang- orang desa seperti kami itu sudah sangat enak
dan mengundang selera makan dibandingkan kalau harus makan di rumah yang
menunya T3SI (Telur, Tahu, Tempe, Sayur, Ikan) Apalagi makan
rendang, mungkin hanya saat Hari Raya Kurban. Kasihan sekali.
Ku raih piring dari penjaga hidangan itu, ku ambil satu centong
nasi walau aku tak berselera, sekedar menghargai tuan rumah yang telah berkenan
hati menghidangkannya. Ku ambil satu potong rendang dan sesendok gado- gado. Ku
lihat ibu belum juga mengambil lauk dan... “Mbak, ada jengkol gak?”, kata ibu. Gubrak!.
Aku menelan ludah. Mbak penjaga hidangan itu hanya tersenyum menggeleng. Tampak
di wajah ibu kekecewaan.
Kami duduk di antara tamu- tamu undangan yang lain. Menikmati
suasana pesta dengan lantunan lagu-lagu dangdut, lagu ibu banget tu. Sesekali
diikutinya penyanyi itu bernyanyi. Sampai tersedak- sedak saking asyiknya.
Ibu kembali fokus pada makanan di hadapannya sambil menikmati
alunan lagu- lagu dangdut yang renyah di telinga. Walau tak ada jengkol yang
membuat ibu selera, tapi ku lihat butir –butir nasi telah bersih di piringnya. Ah,
mungkin ibu lapar. Sedangkan aku, menyisakan ratusan butir- butir nasi di dalam
piring. Pikiranku kembali melayang pada Mr. Trigo di rumah. Ku teringat masih
ada 20 soal lagi yang belum aku selesaikan. Sinus, cosinus, tangen dan kawan-
kawan menungguku di rumah. Tiba- tiba feel yang ku rasakan tadi pagi
muncul kembali. Ternyata ibu memperhatikan kegelisahanku.
“ Go home sekarang?.” Tanya ibu.
“ Yea “ Sahutku sambil mengangguk dan tersenyum.
Kami berjalan keluar meninggalkan tempat pesta, setelah berpamitan dan
memberi salam tempel. Kemudian bergerak keluar. Ibu menyuruhku menunggunya mengambil motor butut itu di parkiran.
***
Hari hampir di penghujung sore, ibu masih mencari-cari dimana dia
letakkan motor butut tadi. Seketika dia lupa dan berusaha mengingat- ingat
dimana posisi motor tadi diparkirkan. Tak ingat sama sekali. Rentetan motor-
motor yang berjejer memenuhi parkiran membuatnya bingung. Nah, sejurus kemudian
matanya tertuju pada sebuah kereta yang sepertinya itu adalah motor butut itu.
Langsung saja ditujunya motor itu, dan dimasukkannya kunci ke lubang kontak dan
ternyata cocok. Akhirnya ketemu juga tu motor butut. Tanpa berpikir panjang, dihidupkan
STARTERnya dan motor butut ini pun hidup mengeluarkan suara yang lebih nyaring
dari sebelumnya. Oh... mungkin dia telah beristirahat mengembalikan suaranya. Dibawa
motor itu menjauhi parkiran dan dilihatnya aku telah menunggu.
“ Why you are so long Mom?” tanyaku panik.
“ I’m sorry dear, tadi sempat bingung mencari motor ini.
Karena ibu lupa dimana ibu letakkan tadi” Jawab ibu.
“ Aku khawatir, ibu lupa dan meninggalkanku disini .” Kataku.
“ Gak mungkinlah Ibu forget
you dear.” Sahut ibu.
Tanpa berpanjang cerita, langsung saja aku duduk di belakang ibu.
Melakukan hal yang sama, memeluk erat pinggangnya. Berdiam diri dan mengunci
setiap gerakan. Ku pikir aku bagai barang yang diikat yang tak mampu berbuat
apa- apa. Pasrah.
***
Motor melaju dengan tenang di atas jalan berbatu. Tidak separah
waktu pergi . Ibu juga tampak lebih tenang membawanya. Motor butut ini ternyata
lebih bersahabat dibandingkan waktu pergi tadi. Buktinya, ketika hendak
menghidupkannya, ibu merasa tak perlu bersusah- susah mengengkolnya, cukup satu
kali tekan saklar STARTER nya, motor butut ini sudah hidup, melajunya juga
lebih kencang . Tarikan gasnya juga tidak terlalu berat. Pijakan remnya juga
tidak kandas. Oh... motor butut..... Kamu seperti manusia yang juga ingin
dimengerti dan tak suka dicela, ternyata motor butut juga punya perasaan. Pikir
ibu dalam hati.
Perlahan kami meninggalkan jalan berbatu, sejauh ini lancar- lancar
saja. Aku merasa jauh lebih nyaman duduk di belakang, hanya sesekali saja aku
berusaha memperbaiki posisi dudukku secara diam- diam. Sampai di jalan yang
beraspal, motor ini melaju dengan cepat. Ketika hendak menyalip, ku dengar
bunyi klakson, yang sumbernya dari motor ini. Aku berpikir sesaat, kok bisa
klaksonnya bunyi? Padahal sebelumnya klaksonnya tak berfungsi sama sekali.
Ajaib ini motor.
Aku merasakan ada yang aneh pada motor ini. Apakah ibu tak
merasakannya?
Pikiranku tak lagi tertuju pada tugas- tugas di rumah. Pikiranku
kini tertuju pada ini motor. Di belakang aku tak lagi diam membisu. Pikiranku
bertanya- tanya. Aku coba mengingat- ingat. Bagaimana ketika aku pernah membawa
motor ini pergi ke ladang waktu itu. Tetapi ku rasa ada yang berbeda. Tapi aku
tidak tahu apa.
“ Mom gak merasa ada yang beda dengan motor ini?”. Tanya ku
memecah keheningan perjalanan.
Ibu hanya diam, aku tahu dia tidak akan berkata- kata ketika
berkendara. Lucu memang. Walau tak digubrisnya aku tak berhenti bicara.
“ Laju motornya pun lancar, bedalah sewaktu pergi tadi.” Sambungku
lagi.
“ Iyakah? Ibu tidak merasakan apa- apa?”. Tanyaku lagi.
“ Don’t be bawel, dear. I not consen“ Kata
ibu. Akhirnya dia angkat bicara.
Perjalanan hening kembali. Namun, pikiranku tak sehening perjalanan
ini. Aku masih bingung dengan apa yang terjadi. Tapi tak begitu ku pedulikan,
lekas ku buang perasaan itu. Mungkin motor ini telah diservice.
Ternyata tak berhenti sampai disitu. Ketika ibu hendak berbelok. Ku
lihat ada cahaya yang sumbernya dari depan kap motor butut ini. Aku merasa aneh
saja, bukankah lampunya tak sama sekali hidup ya? Lha, kok bisa ini tiba- tiba
hidup. Emang lampunya rusak enggak sih? Apa aku yang lupa ya? Ah, aku mendadak
jadi orang bego dan pelupa. Bagaimana bentuk motor ini dan keadaan sebelumnya
saja terlupakan olehku. Mungkin memang aku yang salah telah menilai buruk motor
ini sebelumnya. Ibu saja yang mengendarai tenang- tenang saja.
***
Sesampainya di rumah, hari mulai gelap. Jam telah menunjukakkan
angka 18.20. Beberapa menit lagi adzan Maghrib. Aku telah turun dari motor dan segera
masuk ke dalam rumah, Mr. Trigono telah menungguku. Ku tinggalkan ibu yang
masih terduduk di motor.
Ibu masih terduduk sejenak memikirkan keanehan- keanehan yang ku
ungkapkan saat di perjalanan tadi. Apa yang ku pikirkan tadi, sekarang
dipikirkan ibu.
“ Sejak pertama mengambil motor ini dari parkiran tadi. Kuncinya
cocok dengan lubang kontaknya, bentuknya juga sama dengan motor butut yang ku
bawa sewaktu pergi. Apa yang salah? Tapi kenapa motor ini ada yang berbeda dari
motor butut nenek? Atau jangan- jangan motor ini motor ajaib.” Serunya dalam
hati.
Seketika ibu bangkit dari tempat duduk motor dan menegakkannya di
tanah. Ibu ingin mengembalikan kunci motor
kepada nenek. Belum tiga langkah menjauh dari motor itu, matanya tertuju pada
badan motor. Ada yang aneh, aneh sekali. Mendadak jantungnya berdenyut kencang,
kencang sekali, mengalahkan kencangnya laju motor ini. Ibu mengelilingi dan meneliti
setiap detail bagian- bagian motornya. Tapi kok??? Merk motornya S-Fit, bentuk
body nya juga berbeda. “ Motor ini.... motor ini.... Oh my God! Ini
bukan motor mamak.”, seru ibu.
Ku dengar dari luar, suara ibu berteriak- teriak memanggilku.
“Dear.... der.... kemari, cepat... Der cepat......” Teriak
Ibu.
Mendengar teriakan ibu, secepat kilat aku berlari. Padahal aku
ingin mengambil wudhu. Gak jadi deh. Dengan panik aku datang menghampiri ibu.
“ What’s happening Mom, berteriak- teriak seperti
kemalingan saja”. Kataku.
“Kita bukan kemalingan tapi kita lah malingnya”. Jawab ibu panik.
“ Maling gimana?” tanyaku tak mengerti.
“ Lihat ini, kita telah mengambil motor orang”. Kata Ibu sambil
menunjuk-nunjuk motor itu.
“ What?”. Ucapku kaget.
Lantas aku memperhatikan detail motor itu. Dan........
“ Ini bukan motor nenek Mom!” Kataku.
“ Mom. Lihat merk motor ini S- Fit, sedangkan motor nenek
itu S-X dan lihat body nya, berbeda dari punya nenek. Bukankah tadi
motor nenek itu dekil? Tapi ini terlihat lebih bersih dari sebelumnya”. Sambungku
dengan panik.
“ Motor ini juga bisa hidup tanpa di engkol, klakson, lampu
tangannya juga berfungsi, beda dengan motor punya nenekmu. Ibu yakin kita salah
ambil motor.” Sahut Ibu.
“ Benar feel ku tadi.” Kataku.
Tetangga- tetangga yang menyaksikan kehebohan kami tertawa
mendengar dialog kami, tidak ada rasa panik mereka. Mereka anggap kami adalah
tontonan yang layak mereka tertawakan. Aku yang melihat ekspresi ibu ketakutan
juga tertawa, tapi cepat ku sembunyikan.
“ Bagaimana bisa salah ambil motor Mom?”tanyaku sambil
menahan tawa.
“ Ibu tidak tahu, ibu pikir tadi karena kuncinya cocok makanya ibu bawa
motor ini tanpa melihatnya terlebih dahulu. Lagian dari kejauhan motor ini tak
jauh berbeda dengan motor nenek. Ibu juga lupa tempat diparkirkan motor nenek
tadi. Ibu bingung” Jawab Ibu dengan rasa takut yang kini merajai. Tampak dari
ekspresi wajah ibu yang panik.
Aku hanya menggeleng- geleng dan masih menahan tawa. Aku tak
percaya dengan tindakan ibu yang ceroboh. Oh my Mom.....
“ Ayo kita kembalikan, ibu takut pemilik motor ini mencari- cari
motornya. Ibu takut dituduh mencuri, ibu takut orang- orang menyalahkan ibu,
kalau tahu pemiliknya Ibu telah mengambil motornya nanti Ibu dilaporkan ke
polisi, Ibu gak mau dear.” Pintanya kepadaku.
“ Iya... iya, nanti kita kembalikan. Tapi, sekarang kita shalat
dulu ya Mom?”. Bujukku.
“Nanti kalau orangnya sudah pulang dan melaporkan ke polisi sebelum
kita datang gimana? Ayo dear... temani ibu mengembalikannya, ibu takut
untuk mengatakan kepada mereka sendiri, kita pergi sekarang saja ya” Pinta Ibu
dengan wajahnya yang memelas.
Melihat wajahnya yang sendu dan pucat karena ketakutan, aku menaruh
kasihan terhadapnya. Tapi aku berusaha meyakinkan. All will be fine.
Kami pun melaksanakan shalat Maghrib. Masih terlihat wajah Ibu yang panik.
***
Motor melaju dengan kencang, kini aku yang ambil kendali motornya.
Tak ku lihat lagi ada lubang dan batu- batu di jalan. Semuanya datar, seperti
aspal. Pikiranku yang kini berlubang dan berbatu, menerka- nerka kemungkinan-
kemungkinan yang akan terjadi pada kami ketika orang- orang dan pemiliknya
disana tahu kami yang mengambil motor ini. Dalam bayanganku, telah berkumpul
banyak orang dan heboh dengan berita hilangnya motor salah seorang tamu dalam
sebuah pesta. Mungkin kalau berita itu dimuat di media, kami adalah orang yang
dijadikan tersangka. Oh tidak....... Bagaimana dengan Ibu? Dia orang yang akan
menjadi tersangka utama. Tapi aku tahu
Ibu tidak berniat mengambil motor ini, ini adalah ketidaksengajaan dan
kecerobohan saja. Ibu yang duduk di belakangku tampak gelisah, mulutnya tak
henti- henti berdo’a. Aku tahu dia lebih panik dariku.
Aku berusaha menenangkannya, bahwa all will be fine. Kalau
tidak bersalah jangan takut. Katakan saja sejujurnya.
***
Telah ramai orang- orang berkumpul di lokasi kejadian hilangnya
sebuah motor merk S- Fit. Berita itu ternyata telah menyebar ke warga- warga
sekitar, bahkan tamu- tamu yang datang dari desa lain pun mengetahui kabar ini.
Kepanikan tergambar jelas di wajah- wajah mereka, terutama wajah pemilik motor.
Sampainya kami di lokasi, orang- orang menatap kami tajam, seolah ingin
menerkam karena telah menemukan pelaku pencurian itu. Aku menggigit jari. Sebelum
salah seorang disana angkat bicara, belum turun dari motor aku meyakinkan
mereka kalau ibu tidak ada niat mengambil motor sang pemilik. Ibu hanya salah
ambil. Tapi salah seorang diantara mereka men- judge kami sebagai
tersangka.
“ Laporkan saja mereka ke polisi!”. Katanya.
“ Ya... ya.... gak masuk akal kalau mereka tak sengaja. Apa mereka
buta?” Kata warga yang lain.
Tapi, tak banyak juga yang melihat kami kasihan. Dan mereka percaya
kalau kami tak bersalah.
“ Stop... stop! I want bicara, I not ambil you
motor, but I just salah ambil“ Ibu angkat bicara.
Setiap pasang mata saling pandang satu dengan yang lain. Mereka tak
mengerti apa yang dikatakan ibu. Tanpa sadar ternyata dia mengeluarkan bahasa
campurannya.
“ Apa yang kau katakan. Kami gak ngerti, jangan pake bahasa
planet.” Sahut seorang warga.
Uupps. Ibu Keceplosan.
Kemudian Ibu menjelaskannya dengan bahasa normal. Menjelaskan semua
kejadian yang terjadi. Kalau Ibu salah ambil, bukan mengambil.
“ Look that, itu motor kami.” Kata Ibu sambil menunjuk motor
yang bertengger sendiri dalam kegelapan.
Dan setiap pasang mata mengarah ke motor butut itu. Aku mengambil
dan membawanya untuk ku tunjukkan kepada mereka. Tentu saja mereka kaget,
ternyata motor butut itu hampir sama dengan motor yang salah ambil ini. Hanya
saja memang motor milik nenek lebih butut. Dan setelah dicoba, kuncinya memang
cocok.
“ Sekarang percayakan?” Tanya Ibu kepada mereka.
Beberapa diantara mereka mulai meninggalkan tempat ini dengan wajah
kecewa. Kejadian yang harusnya mereka harapkan tak terjadi. Yaitu kami menjadi
tersangka. Sehingga polisi akan datang menangkap kami dan diliput media.
Sehingga desa mereka menjadi terkenal. Tapi. Mereka salah.
Hingga kami temui sang pemilik motor yang ia
adalah seorang wanita dengan seorang bayi yang digendongnya. Wajahnya terlihat
sembab, aku tahu kepanikannya karena kehilangan motornya. Aku gak bayangkan
kalau pemilik motor yang salah ambil ini adalah seorang pria dengan tubuh kekar
dan sangar. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan kami selanjutnya. Tapi,
untunglah wanita itu mengerti dengan penjelasan kami, dan beliau berkenan
memaafkan kami. Gak jadi deh kami dibawa ke kantor polisi. Thanks to Allah.
Aku lega, aku bisa tertawa sekarang. Menertawai diri sendiri,
menertawai Ibu dengan kecerobohannya. Mungkin dengan tertawa bisa menghilangkan
rasa malu yang telah menebal di wajahku dan mungkin juga Ibuku. Hal yang
terbodoh yang pernah aku alami selama hidup.
“ Walau motor ini butut, tapi dia tak seceroboh Ibu. I’m stupid
” Kata ibu.
Aku dan ibu tertawa memecah kesunyian malam yang gelap dan sunyi.
Ternyata ini toh feel yang kurasakan sejak tadi pagi.
*** Attention! Kenali motormu
dengan baik. Jika perlu foto dan bawa ketika bepergian. Jangan sampai salah
motor J