Minggu, 23 Juni 2013

Awal Ku Mengenal Mereka

Aku dan mereka bisa terbilang sangat dekat, sehari-harinya di kampus selalu bersama sehingga terkadang teman-teman menjuluki kami “ 3 Sejoli”, “ Trio Macan”, “3 Serangkai” dan apa lah itu aku pun tidak tahu mengapa begitu. Jika salah satu diantara kami tak beriringan mereka selalu bertanya “ Mana yang satu lagi?” Hahaha, kami bagai satu tubuh di mata mereka.
***
Ceritaku berawal ketika pertama  kali memasuki bangku perkuliahan, saat itulah aku mengenal seorang temanku bernama Irma, seorang wanita solehah dengan jilbab besar yang terurai menutupi punggungnya dan pakaian muslimah yang menutupi aurat dan lekuk tubuhnya. Perawakannya yang kecil, tidak menggambarkan seorang anak kuliah. Jikalau ia disandingkan dengan anak SMA mungkin akan terlihat sama dan seangkatan. Akan tetapi badannya yang kecil tidaklah menjadi ukuran untuk anak kuliah, biarpun kecil tapi ia orang yang gesit, dan memiliki pengetahuan dan ilmu yang OK. Pastinya dia tuh lebih pintar dari aku.
Pertemanan kami selayaknya teman biasa tidak terlalu dekat karena mungkin masih awal perkenalan. Seiring waktu berjalan, kebersamaan mulai terbentuk. Kami selalu duduk bersebelahan, saling bercerita dan bertukar pengalaman, jalan bergandengan. Telah ku rasakan kenyamanan bersamanya, dia seorang pribadi yang baik, dan menyenangkan. Hingga suatu pagi ketika tiba di kelas, ku lihat ia langsung meletakkan tasnya dan pergi keluar. Aku tidak tahu arah tujuannya, “ mungkin dia sesak buang air kecil”, berkata dalam hati.
Aku masih dengan aktivitasku membaca buku pelajaran biologi jam pertama, ketika ia kembali lagi ke kelas dengan langkah yang tenang. Aku hentikan bacaanku dan ku letakkakan buku ku di atas meja.
“ Dari mana, Ma? Ku lihat seperti terburu-buru. Tanyaku memulai obrolan dengannya pagi ini.
“ Dari Mushola jurusan”. Jawabnya singkat sambil tersenyum.
“Oohh... Shalat Dhuha ya?”. Balasku dengan senyuman
“ Iya...”, katanya.
“ Kenapa gak ngajak-ngajak aku sih? Aku kan juga mau shalat”. Tanyaku sedikit kecewa.
“Hmmm.... maaf ya, tadi udah mau diajak tapi takut gak mau dirimu”. Jawabnya dengan merasa bersalah.
“ Okelah, ntar lain kali kalau shalat Dhuha ajak aku ya?”
“ Oke deh, siiip!!”.
Pembicaraan kami berakhir saat wanita parubaya tanpa jilbab itu memasuki kelas. Dengan langkah pasti dan kewibawaannya ia duduk tepat di depan kursi kami. Nah, dalam hal duduk, kami selalu memilih duduk paling depan. Oleh karena itu aku berusaha datang paling awal untuk merebut kursi paling depan. Alasannya sih, biar kelihatan agak pintar, karena biasanya orang yang duduk di depan itu orangnya pintar. Hahaha gak gitu juga kale. Ya, yang pasti keuntungan duduk paling depan itu lebih banyak daripada duduk belakang, lebih dekat dengan papan tulis, informasi yang didapat lebih cepat nyampai ke telinga. Itu pun kalau gak ngantuk, tawa ku dalam hati.
Aku tersadar, saat namaku dipanggil. Ternyata hanya mengecek absen. Ha.. ku pikir aku akan disuruh maju kemudian menjelaskan pokok bahasan hari ini dan ketika aku gak bisa maka beliau akan marah. Kalau pun iya, gak masalah karena aku telah mempersiapkannya.
***
Aku bukanlah orang yang mudah mencari teman, teman yang benar-benar teman. Bukan sembarang teman, pencarian itu butuh proses dan proses itu melalui pengamatanku. Seperti ingin menyeleksi pacar, teman juga penting diseleksi. Selama kurang lebih sebulan aku kuliah di Universitas pilihanku, telah ku temukan seorang yang ku sebut itu benar-benar teman. Teman yang selalu menemani disaat senang maupun sedih, memberi motivasi dan dapat saling berbagi dan bekerjasama. Walaupun begitu, bukan berarti yang lain itu gak ku anggap teman. Aku tetap menganggap mereka teman-temanku, bukankah kita makhluk sosial?.
***
“Kalian mau kemana?”. Tanya seorang teman kepada kami.
“ Mau ke Musholla”. Jawab Irma
“Boleh aku ikut? Karena teman yang lain pada pulang ke kost mereka”.
“Boleh. Kenapa enggak!”. Jawab kami dengan antusias
Kami memutuskan untuk pergi bertiga ke mushalla menunggu jam kuliah yang masuk pukul 13.50, sementara waktu sekarang masih menunjukkan pukul 10.00. ada waktu lebih kurang 4 jam untuk menunggu. Sebenarnya hal ini paling aku tidak suka, menunggu dalam waktu yang lama itu membosankan, tapi kalau menunggu dengan diisi hal-hal yang positif itu bukan masalah.
Matahari waktu itu sepenggalangan naik, waktu yang tepat untuk melaksanakan shalat dhuha. Memang niat kami seperti itu awalnya. Selesai menunaikan shalat dhuha kami pun beristirahat dengan bercerita. Kami lebih banyak bertanya kepada teman ini. Walaupun sudah mengenalnya namun sebatas nama dan asal sekolahnya. Waktu istirahat ini kami manfaatkan untuk berbagi cerita dan pengalaman kepadanya, selain itu kami makan dan shalat dzuhur berjamaah.
Dalam waktu 4 jam, kami telah menjadi akrab. Pribadinya yang asyik dan menyenangkan membuat kami nyaman berteman dengannya. Saat itulah kami mulai jalan bertiga.
***
Panggil saja namanya Tika, sebenarnya nama lengkapnya adalah Sri Hartika. Tapi, agar tidak keliru ketika memanggil, oleh karena itu dipanggil Tika, sebab jika dipanggil dengan sebutan “SRI” maka bukan dia saja yang merasa terpanggil tapi aku juga.
Keberadaan Tika di tengah-tengah kami membuat hari-hari ku di kuliah semakin bewarna. Penampilannya yang sederhana dengan baju kemeja, rok dan jilbab yang terkadang tidak kontras  antara satu dengan yang lain menjadi ciri khasnya. Sifatnya yang baik, periang, penuh canda, sifat pelupanya yang terkadang membuat lucu dan geli. Apalagi, kebiasaannya yang sering buang air kecil membuatku terkadang kesal. Pernah suatu ketika disaat –saat mau masuk kelas dan hampir terlambat dia minta aku nemani dia buang air. Padahal waktu istirahat cukup banyak jika hanya untuk buang air. Tapi, malah disaat mendesak pula dia melakukan itu.
Namun, tak dipungkiri kemampuan matematika dia tidak kalah jago dari Irma. Diantara mereka akulah yang kurang mengerti pelajaran itu apalagi maslah trigonometri. Itu merupakan momok ku dari MAN dulu. Tika dan Ita memang jago dalam berhitung. Selain berhitung diantara kami Irma lah yang paling kritis, selalu muncul dalam diskusi-diskusi kelas selalu ada dalam perdebatan kelas, Ita adalah bangsa orang yang percaya dirinya tinggi, dan tak mau kalah. Aku dan Tika hanya sebagai pendengar dan penonton perdebatan Irma dengan teman di kelas. Walau sekali-kali aku ikut berperan serta dalam presentase, itu pun hanya mengajukan pertanyaan. Menurutku itu awal yang baik memulai kepercayadirian.
Bukan manusia jika tidak memiliki kekurangan. Sebagai kodratnya manusia itu diciptakan dengan segala kelebihan dan kekurangan. Hal ini yang membedakan manusia satu dan lainnya. Sekiranya aku tidak lebih baik dalam hal berhitung dari mereka, namun aku punya sesuatu yang bisa disebut kelebihan. Yang sering buat iri Tika dan Irma bahkan teman lainnya, yaitu kemampuanku dalam membuat dan mengolah hasil laporan. Karena setiap pembagian nilai laporan-laporan praktikum aku selalu mendapat nilai yang lebih tinggi dari mereka. Hal itu yang aku syukuri, setidaknya aku punya kelebihan untuk bisa berbagi ilmu kepada mereka sehingga aku tidak minder ketika bersama mereka.

Bersambung..............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar