Siapa yang pernah egois? Dan siapa yang mengaku bahwa dirinya tidak pernah egois? Sejatinya, nggak ada manusia yang nggak egois, tentu dalam kadar yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Sepihak, egoisme penting sebagai wujud eksistensi kita sebagai manusia. Tanpa egoisme sama sekali muskil kita bisa memiliki prinsip hidup. Betul atau benar? Orang yang hidup tanpa prinsip sejatinya dia tidak lagi hidup karena ia tak lagi memiliki orientasi yang jelas dalam hidupnya.
Sampai disini, menjadi sosok yang egois penting, bukan?
Tetapi, dipihak lain, terlalu egois juga nggak sehat lho.egoisme
yang berlebihan akan membuat diri kita antikritik., sepet kepada ragam
masukan sepositif apa pun, lantaran itu semua ditampiknya sebagai pengerdilan
atas eksistensinya.
Contoh sederhana sering kita lihat atau bahkan kita alami sendiri
saat kita marah atau benci kepada seseorang, entah sahabat, saudara, pacar,
dll, yang semua ragam kemarahan dan kebencian itu berpijak pada egoisme diri.
Saat kita dikuasai egoisme, seketika kita kehilangan sepenuhnya
akal sehat kita, bukan nurani. Kalau nurani, selalu saja eksis dan membisikkan
kepada kita dengan setiap bahwa kritiknya benar, pendapatnya lebih baik. Tetapi,
kita lebih sering gagal mengikuti kata hati itu lantaran otak kita keburu
mampet disumbat aliran darah yang super cepat dipompa egoisme itu.
Nggak heran kan, dalam keadaan egois yang yang lazimnya berwujud
amarah dan benci, ucapan dan tindakan kita sering ngawur, kacau, negatif, jauh
sekali dari nilai kebaikan yang mestinya kita pegang selalu, yang kemudian kita
akui dalam hati sebagai yang benar, sesaat setelah egoisme itu mengendur.
Dan, surely, egoisme yang berlebihan ini, tidak pada
porsinya ini, hanya memicu kerusakan dalam hidup kita untuk lantas kita sesali
kebodohan ucapan dan tindakan kita. Tapi, ya gitu deh, nasi sudah jadi bubur. Kata-kata
tajam telah kita coretkan ke kulit seseorang hingga ia terluka. Dan, luka
akibat tamparan egoisme kita itu akan terus membekas.
Sesal tak pernah mampu mengobati dan menghilangkan luka perih itu,
bukan? So, idealnya kita janganlah melukai perasaan orang lain akibat kita
gagal mengendalikan egoisme kita.
Tapi, gimana nih, sulit banget mewujudkan itu, kan?
Ya, betul, sulit sekali. Dan, justru karena sulitnya ia untuk
ditegakkan, maka siapapun yang mampu menegakkannya, dialah sungguh orang yang
mulia, yang betul-betul muslim kaffah itu.
Tetapi, tahukah Anda bahwa ternyata Allah sudah menyediakan “alat
terapi” bagi kita untuk mengendalikan egoisme diri itu?
Sujud!
Ya, bersujud.
Coba cermati dan renungkan, mengapa sikap sujud itu disediakan
dalam shalat kita? Mengapa pula sujud itu dalam posisi jidat ditundukkan begitu
rendahnya, sejajar dengan kaki kita yang rendah?
Kita tahu , kepala adalah simbol keagungan diri kita sebagai
manusia. Itulah sebabnya kepala ada di atas selalu. Di kepala kita otak
disematka, organ berpikir yang dengannya (berpikir) kita menjadi berbeda dengan
binatang yang punya organ otak tapi tak bisa berpikir. Maka dari itu, manusia
yang tidak bisa berpikir sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi kita
dikendalikan. Ibarat mobil, di kepalalah letak ICU-nya. Komputernya. Jadi,
jelas sekali bahwa kepala adalah simbolisasi paling sempurna kemuliaan manusia.
Posisi kepala bertolak belakang dengan posisi kaki. Kaki, meski
dipasangi sepatu semahal apapun, tetap saja posisinya di bawah, di tanah, dan
kadang kala menginjak kotoran dan lumpur. So, kaki adalah simbolisasi paling
rendah eksistensi manusia.
Dalam sujud Allah memerintahkan kita untuk meletakkan kepala sama
rendahnya dengan kaki kita. Kepala sebagai simbol termulia diri kita
diperintahkan untuk direndahkan sama rendahnya dengan kaki kita. Itu berarti,
dengan posisi kepala sedemikian rendahnya dalam sikap sujud, Tuhan hendak
mendorong kita untuk memahami dan menyadari selalu bahwa eksistensi kita ini,
yang sering begitu kita muliakan sedemikian langitnya, yang berkatnya kita
sering menjadi arogan, marahan, penuh dendam dan seabrek turunan egoisme
lainnya, tidaklah lebih mulia dari nistanya tanah, debu, dan kotoran. Kepala yang
kita unggulkan (seabrek egoisme di dalamnya) sungguh begitu nyata dihancur-
leburkan oleh Allah dalam sikap sujud itu.
Sadar bahwa kita ini hanyalah makhluk rendah, nisbi, dan fana,
jelas akan mendorong kita untuk mampu bersikap rendah hati. Tidak sadar bahwa
diri ini hanyalah makhluk lemah, jelas hanya akan membuat diri kita merasa
kuat, gagah, perkasa, pintar, hebat, kaya, berpangkat, dll, yang sempurna menjadikan
kita selalu sombong dan penuh egoisme. So, kita mau pilih yang man? Yang sadar
bahwa diri ini hina, nista, rendah, setara dengan kaki yang sudah menginjak
sampah dan kotoran, ataukah kita akan memilih menjadi kelompok yang nggak sadar
akan kelmahan diri kita sehingga terus merasa terunggul dan terhebat?
Sebagai “ atau terapi”, tentu saj sujud tidak memberika
keberhasilan terapi bagi pelakunya. Sama persis dengan obat – obatan apapun
yang tidak selalu berhasil menyembuhkan keluhan sakit kita. Apakah obatnya yang
salah kalau ternyata nggak berhasil?
Apkaah sujudnya yang tidak manjur lagi? Tentu bukan. Tetapi kita
sajalah yang gagal menyerap hikmah besar dari “ alat terapi” sujud itu. Bahwa sujud
adalah simbolisasi kerendahan dan kelemahan diri kita, tidak selalu ini
berhasil kita pahami. Sebagai lain, meski telah memahaminya tetap saja gagal
untuk menancapkannya sebagai prinsip kesadaran dalam setiap tindak- lakunya.
Karenanya, soal berhasil gagalnya sujud kita untuk menerapi egoisme
diri kita sepenuhnya tergantung pada seberapa mampu kita menyerap hikmah sujud
dan kemudian menancapkannya di dalam hati sebagai pandu setiap tindakan
keseharian kita.
Jika kita sadar bahwa kita ini tiada artinya, tiada kekuatan sama
sekali, di hadapan-Nya yang itu kita raih dari posisi sujud itu, lantas
kesadaran ini menjiwai setiap tindakan keseharian kita, yang terwujud dalam
sikap rendah hati kepada orang lain, maka itu pertanda bahwa kita telah
berhasil dalam menerapi egoisme diri melalui sujud. Sebaliknya, jika kita sudah
sering rajin sujud, tetapi kita tak menggali makna simbolik apa pun darinya,
sehingga sujud kita sama sekali nggak beda dengan gerakan senam saja, maka
otomatis kita takkan mampu mengendalikan egoisme kita. Sehingga, sikap
keseharian kita tetaplah sedemikian arogan, angkuh, sok, dan egois sekali.
Begitulah. Anda tinggal memilih mau jadi yang seperti apa, meski anda
dan saya sama – sama menempuh alat
terapi yasma , sujut yang sama. Yang mana
pun yang Anda pilih, akan menjadi seperti
itu lah perilaku keseharian anda, akan menjadi sedemikian pulalah personality
Anda, dan akan kembali kepada anda sendirilah konsekuensinya.
Tuhan telah menyediakan sujud sebagai sarananya , kini tinggal kita
sendiri mau gimana . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar