Sabtu, 29 Juni 2013

Sudahkah Kita Ber-Allahu Akbar ?


الله اكبر: Allah Maha Besar



Ah, anak TK telah amat fasih memekikkannya. Tapi, apakah mereka paham artinya? Belum. Lalu, apakah mereka bisa meraih energi makna pekikannya? Jelas tidak! Jangankan anak TK yang masih kanak- kanak, aku, kamu, mereka disana , nenek dan kakek yang udah gede gini, lebih sering gagal meraih energi pekikan  Allahu Akbar  itu dalam setiap konteksnya, bahkan dalam shalat sekalipun!
Ada perbedaan dampak yang luar biasa antara orang yang mampu memahami arti bacaan/ kata-katanya dengan orang yang tidak. Apalagi, dengan orang yang mampu menghadirkan makna bacaan itu dalam hati dan jiwanya.
Sebagai sebuah arti bahasa, Allahu Akbar , istilahan,  merupakan sebuah pernyataan, proklami, bahwa Allah itu Maha Besar! We know that! Setelah tahu bahwa Allah itu Maha Besar, bagaimana pengaruh pengetahuan tersebut dalam cara berpikir dan berperilaku kita sehari-hari?
Di sini letak beda prinsip itu.
Umpama aku hanya berhenti pada pekikan Allahu Akbar, dan akau tahu bahwa itu artinya Allah Maha Besar, tanpa menyelami secaralogis dan merasakan secara nurani konsekuensi- konsekuensi logis dari arti Allahu Akbar tersebut, maka cukuplah aku sebagai pengaku kebenaran makna Allahu Akbar tersebut.
Tetapi, bila aku berusaha menyelami dan memahami konsekunsi- konsekuensi logis dari pekikan Allahu Akbar – ku tersebut, berarti aku telah melompat dari ranah makna ke ranah energi. Ada quantum di dalam proses itu. Lompatan energi ini jelas tidak lagi semata bersekala logika, otak, tetapi sudah melibatkan nurani, rasa, hati, dan jiwa.


Allahu Akbar, Allah Maha Besar, makAllahu Akabar anya jelas, bahwa di luar Allah bukanlah sesuatu yang besar, berarti dha’if, lemah, hina, nista, termasuk kita manusia. Demikian makna Allahu Akbar  yang berkembang.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana cra kita agar mampu melompatkan, mengquantumkan makna Allahu Akbar  tersebut dari ranah pengetahuan kognisi,pikiran, keranah hati, rasa, jiwa, nurani? Dan, bagaimana konsekuensi logis dari lompatan energi Allahu Akbar itu?
Aku ingin berkisah begini.
Umpama aku seorang pembantu, disebuah rumah yang mewah, dengan jejeran mobil Accord, CRV, Jazz, dimana majikanku adalah orang yang sangat murah hati, bahkan teramat sering memberiku hal-hal yang semestinya tidak layak kuterima lantaran aku hanya seorang pembantu, apakah logis aku bersikap durja padanya? Bersikap angkuh padanya? Sombong?dzalim?ingkar atas perintah dan larangannya? Tentu tidak. Padahal, aku sebagai pembantu merasa sangat tercukupi semua kebutuhanku di ruamah ini, melalui tangan majikan yang penuh kasih itu. Bahkan, sampai begitu sering aku berkata dalam hati bahwa majikanku ini adalah orang kaya yang sangat mulia.
Lalu, kalau ternyata aku masih berani menyakiti hatinya, melanggar aturan- aturannya di rumahnya sendiri ini, diantara seabrek kemurahan hatinya, kira-kira konsekuensi logis macam apa yang mesti ku terima, ya?
Begitulah ilustrasi analogis mencerna sejuta kasih sayang Tuhan yang Maha Besar, Allahu Akbar, terhadap kita yang hanya seorang yang lemah, dha’if. Masak iya aku bersikap durhaka kepada-Nya, diantara segala ke-rahim-an-Nya padaku, diantara kemahakuasaan-Nya yang sungguh mahabesar, melanggar titah dan larangan-Nya, ketentuan- ketentuan-Nya itu.
Pengakuan lisan melalui pekikan Allahu Akbar, Allah Maha Besar yang telah berhasil dilompatkan energinya kedalan hati, semestinya mengantar kita untuk selalu berendah diri dihadapan kemahabesaran-Nya, tanpa syarat, tanpa kecuali, termasuk memenuhi semua titah dan menjauhi semua larangan-Nya. Kalau lisan kita memekik  Allahu Akabr, bahwa hanya Allah-lah yang Maha Besar, pertanda  kita ini hanya budak lemah, tapi pikiran dan kelakuan kita sangat doyan melabrak semua titah dan larangan-Nya, jelas tidak patutlah kita untuk disebut sebagai seorang hamba yang baik. Dan, jika kita bukanlah hamba yang baik di hadapan-Nya meski ribuan kali kita memekik Allahu Akbar, bershalat jumpalitan siang-malam, tetapi gagal melomaptkan energi pekikan Allahu Akbar tersebut ke dalam hati, hanya sebatas lisan, maka apa bedanya kita dengan cara pikir dan perilaku sang bocah yang pikiran dan hatinya gagal menyerap makna dan energi dibalik kata-katanya?
Karenanya, lompatan energi Allahu Akbar  niscaya selalu paralel dengan cara pikir danperilaku kita. Semakin menguat energi Allahu Akabar di dalam hati, niscaya semakin tunduklah kepada kita, seiring kian kuat kesadaran ruhaniyah bahwa diri ini hanya sosok hamba sahaya yang hina dina di hadapan kuasa Allahu Akbar itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar