الله اكبر: Allah Maha Besar
Ah, anak TK telah amat fasih memekikkannya. Tapi, apakah mereka
paham artinya? Belum. Lalu, apakah mereka bisa meraih energi makna pekikannya?
Jelas tidak! Jangankan anak TK yang masih kanak- kanak, aku, kamu, mereka
disana , nenek dan kakek yang udah gede gini, lebih sering gagal meraih energi
pekikan Allahu Akbar itu dalam setiap konteksnya, bahkan dalam
shalat sekalipun!
Ada perbedaan dampak yang luar biasa antara orang yang mampu
memahami arti bacaan/ kata-katanya dengan orang yang tidak. Apalagi, dengan
orang yang mampu menghadirkan makna bacaan itu dalam hati dan jiwanya.
Sebagai sebuah arti bahasa, Allahu Akbar , istilahan, merupakan sebuah pernyataan, proklami, bahwa
Allah itu Maha Besar! We know that! Setelah tahu bahwa Allah itu Maha Besar,
bagaimana pengaruh pengetahuan tersebut dalam cara berpikir dan berperilaku
kita sehari-hari?
Di sini letak beda prinsip itu.
Umpama aku hanya berhenti pada pekikan Allahu Akbar, dan
akau tahu bahwa itu artinya Allah Maha Besar, tanpa menyelami secaralogis dan
merasakan secara nurani konsekuensi- konsekuensi logis dari arti Allahu
Akbar tersebut, maka cukuplah aku sebagai pengaku kebenaran makna Allahu
Akbar tersebut.
Tetapi, bila aku berusaha menyelami dan memahami konsekunsi-
konsekuensi logis dari pekikan Allahu Akbar – ku tersebut, berarti aku
telah melompat dari ranah makna ke ranah energi. Ada quantum di dalam proses
itu. Lompatan energi ini jelas tidak lagi semata bersekala logika, otak, tetapi
sudah melibatkan nurani, rasa, hati, dan jiwa.
Allahu Akbar, Allah Maha
Besar, makAllahu Akabar anya jelas, bahwa di luar Allah bukanlah sesuatu yang
besar, berarti dha’if, lemah, hina, nista, termasuk kita manusia.
Demikian makna Allahu Akbar yang
berkembang.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana cra kita agar mampu melompatkan,
mengquantumkan makna Allahu Akbar tersebut dari ranah pengetahuan
kognisi,pikiran, keranah hati, rasa, jiwa, nurani? Dan, bagaimana konsekuensi
logis dari lompatan energi Allahu Akbar itu?
Aku ingin berkisah begini.
Umpama aku seorang pembantu, disebuah rumah yang mewah, dengan
jejeran mobil Accord, CRV, Jazz, dimana majikanku adalah orang yang sangat
murah hati, bahkan teramat sering memberiku hal-hal yang semestinya tidak layak
kuterima lantaran aku hanya seorang pembantu, apakah logis aku bersikap durja
padanya? Bersikap angkuh padanya? Sombong?dzalim?ingkar atas perintah dan
larangannya? Tentu tidak. Padahal, aku sebagai pembantu merasa sangat tercukupi
semua kebutuhanku di ruamah ini, melalui tangan majikan yang penuh kasih itu.
Bahkan, sampai begitu sering aku berkata dalam hati bahwa majikanku ini adalah
orang kaya yang sangat mulia.
Lalu, kalau ternyata aku masih berani menyakiti hatinya, melanggar
aturan- aturannya di rumahnya sendiri ini, diantara seabrek kemurahan hatinya,
kira-kira konsekuensi logis macam apa yang mesti ku terima, ya?
Begitulah ilustrasi analogis mencerna sejuta kasih sayang Tuhan
yang Maha Besar, Allahu Akbar, terhadap kita yang hanya seorang yang
lemah, dha’if. Masak iya aku bersikap durhaka kepada-Nya, diantara segala
ke-rahim-an-Nya padaku, diantara kemahakuasaan-Nya yang sungguh
mahabesar, melanggar titah dan larangan-Nya, ketentuan- ketentuan-Nya itu.
Pengakuan lisan melalui pekikan Allahu Akbar, Allah Maha
Besar yang telah berhasil dilompatkan energinya kedalan hati, semestinya
mengantar kita untuk selalu berendah diri dihadapan kemahabesaran-Nya, tanpa
syarat, tanpa kecuali, termasuk memenuhi semua titah dan menjauhi semua
larangan-Nya. Kalau lisan kita memekik Allahu Akabr, bahwa hanya Allah-lah yang
Maha Besar, pertanda kita ini hanya
budak lemah, tapi pikiran dan kelakuan kita sangat doyan melabrak semua titah
dan larangan-Nya, jelas tidak patutlah kita untuk disebut sebagai seorang hamba
yang baik. Dan, jika kita bukanlah hamba yang baik di hadapan-Nya meski ribuan
kali kita memekik Allahu Akbar, bershalat jumpalitan siang-malam, tetapi
gagal melomaptkan energi pekikan Allahu Akbar tersebut ke dalam hati,
hanya sebatas lisan, maka apa bedanya kita dengan cara pikir dan perilaku sang
bocah yang pikiran dan hatinya gagal menyerap makna dan energi dibalik
kata-katanya?
Karenanya, lompatan energi Allahu Akbar niscaya selalu paralel dengan cara pikir
danperilaku kita. Semakin menguat energi Allahu Akabar di dalam hati,
niscaya semakin tunduklah kepada kita, seiring kian kuat kesadaran ruhaniyah
bahwa diri ini hanya sosok hamba sahaya yang hina dina di hadapan kuasa Allahu
Akbar itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar